Profil

PROFILE

TECHNIQUE THEATRE

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

Masyarakat ilmiah adalah masyarakat yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan kehidupannnya. Pertanggung jawaban tersebut tidak hanya terbatas pada asas kebenaran teori saja, tetapi juga dititik beratkan pada hasil yang diharapkan. Dan hasil yang diperoleh haruslah mencerminkan pola pikir masyarakat yang penuh dinamika berpikir dan generasi muda adalah salah satu dari sekian banyak aset bangsa yang memiliki peranan strategis dalam melanjutkan cita-cita bangsa.

Berawal dari sebuah pemberian diri dan pemahaman yang sama untuk menumbuh kembangkan kesenian dalam kehidupan generasi muda khususnya pada mahasiswa fakultas teknik, yang berbakat dibidang seni dan yang telah melewati sebuah fase perkembangan yang cukup signifikan dan patut diperhatikan maka proses kesadaran dan evaluasi adalah jalan untuk menggapai ide-ide yang cemerlang guna mewujudkan suatu tujuan yang kreatif dan inovatif dari para generasi muda dibidang Theatre, Musik, dan Sastra.

Dengan menyadari akan hal tersebut diatas maka kami yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama selaku generasi muda khususnya mahasiswa fakultas teknik universitas negeri manado  terbeban dan terpanggil untuk menciptakan sebuah wadah sebagai tempat menumbuh kembangkan sebuah proses kreatif berkesenian serta sebagai tempat mendidik dan melatih generasi muda pada umumnya dan mahasiswa fakultas teknik pada kuhususnya menjadi manusia yang berguna bagi pribadinya,  orang tua, sesama, bangsa dan tanah air,serta juga sebagai bagian untuk meningkatkan sumber daya manusia dan juga untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Pada tanggal 06 November 2007 lewat sebuah diskusi antara beberapa mahasiswa Fakultas Teknik untuk merespon proses kreatif berkesenian dengan menghasilkan sebuah kesepakatan yang bersama-sama dalam satu tekad membentuk sebuah wadah organisasi yang bergerak di bidang seni, yang diberi nama TECHNIQUE THEATRE, yang kemudian menjdi peletak sejarah sebuah tonggak  berkesenian   di Fakultas Teknik UNIMA yang kemudian pada tanggal 08 November 2007 dideklarasikan dan dalam sejarah tercatat sebagai wadah seni pertama di Fakultas Teknik Unima.

Pohong Cingkeh

Pohong Cingkeh

Oleh : Kalfein Wuisan

(Pohong cingkeh yang cantik adalah pohong cingkeh yang mampu menceritakan kecantikannya)

Sekolah terakhir telah usai. Aku dan beberapa teman harus kembalii ke aktifitas lama kami yaitu sebagai pekerja di sebuah perkebunan cingkeh di daratan Minahasa. Ini mungkin sedikit kisah mengenai pengalamanku di perkebunan cingkeh tersebut. Bagi kebanyakan orang mungkin kisah ini tidak menarik. Tapi bagi kami para pekerja, kisah ini menarik ,menggelikan serta patut di bingkai dalam museum cinta.

Di perkebunan bernama mawale, di daratan Malesung tumbuh beberapa pohong cingkeh yang berkualitas super baik ditinjau dari pohonnya bahkan juga dari buahnya. Namun ada sebagian pohon yang menurut kami para pekreja di kebun itu memiliki daya tarik tersendiri. Dari beberapa pohon tersebut ada kisah menarik mengenai salah satu pohong cingkeh di perkebunan itu sehingga kisah ini diceritakan.

Sebuah pohong cingkeh dari spesies zanzibar tumbuh di tengah perkebunan itu. Seperti ‘pohon pengetahuan’ di taman eden, kisah pohon ini hampir mirip tapi tak sama. Pohon ini nampak seksi dan modif serta kualitas bibitnya terjamin mantap. Walaupun sudah berumur 22 tahun, pohong cingkeh ini tetap terliat anggun dan pasti akan berbuah ranum. Tak heran apabila para pekerja kebun, berebut menyandarkan tangga mereka pada pohon ini dengan sifat posesif mereka.

Suatu masa ada beberapa pekerja yang sempat bersaing dan berambisi untuk mengeksploitasi pohong cingkeh itu, termasuk aku.  Sebab aku juga sudah memperhatikan pohong cingkeh itu sejak SMA dan berangan kira-kira suatu saat nanti aku bisa memanjat ataupun memilikinya.  Namun niat posesif demi pohong cingkeh itu hilang ketika disuatu saat aku diperhadapakan dengan sebuah pilihan. Pilihan yang mengharuskan aku memilih untuk memindahkan tangga ke pohong cingkeh lain. Oleh sebab tiga rekan sekerjaku telah menyandarkan tangganya pula ke pohon tersebut. Rasa ingin memilki pohong cingkeh itu sudah punah. Kepunahan ini demi pengorbanan kepada seorang sahabat  yang juga terobsesi pada pohong cingkeh tersebut.

Ketika tiba musim pembersihan kebun,kecuali aku, para pekerja berbondong-bondong memilih pohon tersebut sebagai objek kerja mereka. Bayangkan saja sebuah pohon hendak dibersihkan dan dipanen oleh beberapa orang. Mengakibatkan terjadinya saling tak merasa nyaman satu sama lain antar pekerja kebun. Ada seorang pekerja yang dalam beberapa waktu begitu dekat dengan pohon tersebut. Tugasnya membersihkan rumput dibawah maupun di sekitar pohon dan nampaknya tindakan itu disenangi oleh pohon tersebut. Beberapa kali aku mendapati pekerja ini sering berbicara sendiri, menghabiskan waktu bersama pohon tersebut sambil saling mendegarkan bahkan mengungkapkan curahan hati.  Di suatu sisi niat dari pekerja tersebut untuk memiliki pohon itu hilang seiring rutinitas dan kedekatannya bersama pohon tersebut. Salah satu alasan utama hilangnya keinginan untuk mendapatkan pohon tersebut karena alasan seperti aku. Ada juga temanya sekaligus temanku, ingin pula mendapatkan pohon itu.  Demi alasan persahabatan kami akhirya mengalah dan membantu rekan sekerja kami memperoleh pohon tersebut. Berbagai cara dan upaya kami lakukan agar rekan kami berhasil mewujudkan cita-citanya.  Tugas kami tak lagi sebagai pemetik cingkeh namun hanya sebagai pembersih pohon tersebut. Adapun tugas baru kami antara lain membantu membersihkan rerumputan liar disekitar pohon bahkan berusaha merubuhkan tangga milik salah satu rekan pekerja kebun. Namun cara kami hendak menyingkirkan salah satu pekerja yang mencoba  mendekati pohong cingkeh itu sia-sia. Karena dia telah mengikatkan tangga dan tubuhnya dengan cara yang bagi kami tidak lazim.  Bahkan pohong cingkeh yang kami incar malah melilitkan cabangnya ke tangga tersebut. Kami tak tahu kenapa sampai hal menyedihkan itu terjadi. Hanya beberapa bukti yang kami temukan. Antara lain bungkusan coklat silverqueen dibawah pohong cingkeh tersebut. Coklat sebagai pupuk ? Mungkin!. Atau coklat pengganti pupuk? Kami tidak tahu jawaban pastinya apa. Kadang juga kami temui pohong cingkeh tersebut sebagai model. Di potret dari beberpa angel saat kami sedang tidak bekerja.

Sempat aku mencari pohong cingkeh baru di samping pohon tersebut. Hingga menemukan satu yang ku pikir bagus  tapi kenyataannya tak seperti dugaan.  Pohon tersebut memang indah bagian luarnya tapi sayang sudah ada hama ulat pada batang kayunya. Bahkan kebiasaan  menyerap cairan herbisida yang bisa merusak pamornya sebagai cingkeh berkualitas sudah tak bisa kuhentikan. Daripada aku mengambil resiko terburuk lebih tak usah lagi mengusahakan pohon tersebut.

Sampai kini, kami para pekerja tak tahu waktu panen cingkeh tiba. Bahkan beberapa rekan pekerja belum menemukan pohon cingkeh yang cocok. Sialnya, ada rekan sekerja yang memang kehilangan dua sekaligus pohong cingkeh dambaanya.

Untunglah aku telah bekerja di bagian sudut lain yang masih berada di perkebunan mawale.  Sebuah pohong cingkeh yang baru kumiliki, pohonnya indah dan tentu sesuai pilihanku. Dibandingkan pohong cingkeh sebelumnya, pohon baru ini lebih menonjolkan keindahan ekstrinsik maupun intrinsiknya. Tak heran kalau kali ini juga aku punya saingan baru demi pohon ini. Tapi sayang, dia tak cukup kuat untuk merebut pohong cingkeh yang satu ini dariku.

Sebuah pesan yang aku dapat dari kisah ini bahwa pohong cingkeh adalah ciptaan yang begitu indah. Namun lebih indah ketika pohong tersebut menciptakan keindahannya sendiri.

Pohon Seho : Penjaga Wadah Hidup

Pohon Seho : Penjaga Wadah Hidup

(Sebuah Pemaknaan Filosofis Tentang Tana’ dan Tou Minahasa)

Oleh : Kalfein M. Wuisan

 

Pohon aren atau lebih dikenal di tanah Minahasa pohon Seho, memiliki peran dan fungsi yang begitu penting dalam eksistensi tou serta tana’ Minahasa. Peran yang dimaksud berkaitan dengan eksistensinya dalam peradaban Minahasa sejak zaman dulu sampai sekarang. Tak heran maka tou dan tana’ Minahasa begitu dekat dan akrab dengan tumbuhan ini. Di sebagian tempat di tanah Minahasa, banyak orang sukses dan berhasil oleh karena ‘hasil’ dari pohon seho. Bahkan hubungannya dengan menjaga alam dari bencana peran pohon seho sangatlah penting. Hal ini akan membantah isu yang menyatakan pohon seho sebagai ‘pembawa bencana’ seperti rumor bahkan pemikiran yang sengaja ditimbulkan oleh oknum tertentu dengan maksud tertentu untuk menguasai tou dan tana’ Minahasa ini.

Pohon seho dalam bahasa tana’ Minahasa disebut >A’ Kel< yang berarti ‘pelindung wadah hidup’ atau ‘penjaga wadah hidup’. Dari arti namanya secara harafiah tentu setiap orang bisa mendefinisikan maknanya. Orang tua di tana’ Minahasa memiliki alasan tersendiri ketika menyebut atau menamakan pohon aren (istilah Indonesia) dengan A’ Kel. Kata ini dipakai sebagai sebuah pemaknaan yang mendalam berkaitan dengan eksistensi hidupnya dengan tana Minahasa sendiri. Pohon seho begitu dekat dengan hidup tou Minahasa sejak zaman dulu sampai sekarang. Di karenakan hasil bahkan bagian dari pohon seho digunakan dalam aktifitas hidup sehari-hari maupun dalam praktek religi tua Minahasa.

Pohon seho merupakan jenis tumbuhan dari family Palem. Tingginya sekitar 30-40 m dengan diameter 40-50 cm.  Biasanya hidup di dataran tinggi. Karakteristik pohon seho antara lain berakar serabut seperti jenis tumbuhan palem lainnya. Batangnya memilki dua lapisan yaitu kulit keras dibagian luar kemudian bagian dalam yang menghasilkan sagu. Pada bagian kulit kerasnya, dibungkus serabut hitam seperti rambut yang disebut ijuk atau dalam bahasa tana disebut ‘gomutu’. Gomutu sering digunakan sebagai atap sabuah di kebun atau juga pada rumah penduduk Minahasa. Bisa juga digunakan untuk membuat tali serta sapu dari gomutu terpilih. Gomutu yang membungkus pohon terdapat lidi-lidi yang melekat pada rambutnya. Lidi ini biasa disebut mumu’ itam. Lidi-lidi ini biasa digunakan oleh para Tonaas dalam praktek religi tua atau digunakan untuk me’naweng’ sesuatu. Bagian pelepah dan daunnya hampir sebentuk dengan yang dimiliki pohon kelapa namun pohon seho memilki karakterisitik lain. Pelepahnya tidak menempel tetapi membungkus pada pohonya sehingga tidak mudah jatuh seperti pada pohon kelapa. Daunnya berwarna kuning ketika masih muda dan berwarna biru tua ketika sudah dewasa. Daun yang masih muda biasa digunakan untuk menghiasi acara-acara pesta syukuran di Minahasa. Daunnya yang sudah tua biasa digunakan sebagai dinding di sabuah-sabuah di perkebunan di Minahasa. Tulang daun (lidi) yang sudah tua biasa diambil untuk dijadikan sapu lidi karena karakteristiknya lebih keras dan lebih bagus dari lidi pohon kelapa. Seperti jenis palem lainnya, pohon seho memiliki buah dari beberepa tandan yang muncul dari ketiak pelepahnya. Jenis buahnya dikelasifikasikan dua yaitu buah jantan dan betina yang disebut pusu’. Buah jantan (bah.tana = pulinca) memiliki ukuran yang lebih besar daripada betina. Dari buahnya yang sudah tua dihasilkan kolang-kaling. Kemudian tandan buahnya juga biasa digunakan untuk menghias acara pesta.

Dari tandan buahlah disadap dan dihasilkan air nira atau aren yang disebut saguer atau dalam bahasa tana’ disebut ‘upe’. Adapun aktivitas petani dalam menyadap aren disebut batifar atau kata dalam bahasa tana ‘Keet’ (Kemeet=batifar). Air nira yang manis dijadikan bahan untuk diolah menjadi gula aren atau gula merah atau gula batu. Sedangkan air nira yang sudah asam dan difermentasi selama 2-3 hari merupakan bahan baku untuk diolah menjadi alkohol atau cap tikus. Cap tikus yang diolah dari air nira oleh petani cap tikus kemudian dijual kepada penampung untuk selanjutnya dibawa ke perusahaan yang membuat minuman dengan bahan captikus. Para petani captikus biasanya menggunakan cap tikus dengan kadar tinggi untuk dijadikan obat. Biasanya captikus yang dijadikan obat dicampur dengan tumbuh-tumbuhan (akar,umbi,batang tanaman) kemudian disimpan bersama dalam satu botol campuran. Campuran cap tikus ini biasa disebut pina’raci. Dari hasil penjualan cap tikus-lah para petani bisa menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Sehingga tak heran di tana Minahasa banyak orang yang berhasil hanya karena hasil dari pohon seho. Namun ironisnya ada banyak orang yang justru mencoba memusnahkan pohon seho dari tana ini.

Pohon seho sebagai pohon yang tumbuh di semua tampat di tanah Minahasa berfungsi menjaga air dan tanah. Akarnya yang banyak berfungsi menyimpan air serta menahan tanah dari longsor. Kebanyakan pohon seho tumbuh di dataran tinggi di tanah Minahasa. Tak heran banyak ‘orang gunung’ yang berprofesi sebagai tukang keet atau petani cap tikus serta gula merah seperti di daerah Motoling dan Tareran.  Pada pohon seho pun hidup berbagai jenis hewan yang biasa dikonsusmsi masyarakat seperti Tikus (Tangkomot) dan sejenis Kuse (Te’bung).

Pohon seho sebagai penjaga, menjaga alam dari bahaya bencana dikaitkan dengan fungsinya menjaga tanah. Daratan Minahasa yang berbukit bukit membuat pohon seho cocok untuk tumbuh dan melakukan perannya sebagai penjaga tanah. Fungsinya juga adalah menyimpan air. Karena akarnya yang begitu banyak sehingga pohon seho juga banyak tumbuh disekitar mata air.

Manfaat pohon seho memang sangat banyak. Mulai dari akar sampai daunnya mengandung kegunaan penting bagi tou Minahasa. Sehingga tak mengherankan apabila pohon seho sangat akrab bagi kehidupan di tana Minahasa. Bisa dibayangkan ketika pohon seho ditanah ini di musnahkan. Apa yang akan terjadi dengan kondisi alamnya. Tanah longsor dan kekeringan pasti akan terjadi. Selain itu pula tou Minahasa yang hidup dari hasil pohon seho akan sangat sulit untuk hidup. Bukan persoalan orang ditanah ini tidak bisa hidup tanpa pohon seho namun adannya hubungan erat dan kebutuhan akan pohon seho di tanah ini. Seperti arti namanya, pohon seho di berikan oleh Apo Kasuruan Wangko sebagai penjaga. Penjaga dalam artian menjaga tanah ini dari bencana. Menjaga tou di tanah ini dari kelaparan dan kesusahan. Sebab dari pohon ini banyak yang bisa diambil dan dipergunakan untuk hidup. Pohon seho tumbuh subur ditanah ini bukan hanya kebetulan semata tetapi merupakan anugerah dari Amang Kasuruang. Kondisi tou dan tana’ Minahasa membuat pohon seho sangat pantas hidup di tanah ini. Karena itu upaya menjaga eksistensi pohon seho merupakan upaya menjaga eksistensi Tou dan tana’ Minahasa.

Mencermati kondisi sekarang ini ada begitu banyak upaya menghegemoni untuk mengeksploitasi tou dan tana’ Minahasa.  Cara-cara yang dilakukan antara lain dengan memisahkan bagian hubungan kehidupan tou minahasa dengan alam yang menghidupinya. Sebab di dalam tanah ini tersimpan berbagai sumber hasil bumi seperti emas, gas dan minyak bumi. Sedangkan di atas tanah tumbuh tumbuhan (se’ menonow) yang memberi hidup tou Minahasa seperti antara lain pohon seho . Tanah di mana pohon seho tumbuh tersimpan berbagai hasil bumi tersebut. Bisa disimpulkan ketika ada oknum yang ingin menguasai tou dan tana’ ini demi mengeksploitasi hasil buminya, mereka harus memusnahkan dulu hubungan tou Minahasa dan pohon seho.  Karena itu banyak wacana dan stigma yang dibangun kepada para petani captikus untuk meninggalkan pohon seho. Ketika pohon seho di tinggalkan tou Minahasa maka dengan mudah pohon seho dimusnahkan. Kemudian tanah dimana pohon seho tumbuh akan dieksploitasi hasilnya. Bayangkan saja ketika semua pohon seho dimusnahkan. Apa yang akan terjadi dengan tanah dan air? Kegersangan, longsor dan kekeringan!. Apa yang akan terjadi dengan tou Minahasa yang bergantung pada pohon seho? Buruh pabrik dan budak!.

Fungsi pohon seho sebagai penjaga wadah hidup adalah persoalan filosofis bukan denotatif semata. Eksistensinya selama ini bagi tou dan tana’ Minahasa telah menunjukan perannya sebagai penjaga yang diberikan Amang Kasuruan Wangko. Menjaga eksitensinya adalah juga menjaga peradaban Minahasa dan menjaga kehidupan tou serta tana’ Minahasa.

WUWUK DALAM SEBUAH DOA

WUWUK DALAM SEBUAH DOA

(Makna Kontekstualitas Dari Filosofi Syair di Rurumen)

Oleh: Kalfein Wuisan

 “Apo Amang Kasuruan Wangko ni memak tanak wo langit, paka kamang kamangen nai kami wo setoyaang wo sepoyo-poyo ami andoong anio, wo we an nai o wak sama wo pengeta’uan wo ate rondor wo le’na  asi nendo anio wo endo maai”.

Syair kalimat tersebut bagi sebagian orang ataupun kebanyakan orang Wuwuk, masih tidak lazim bahkanpun tak pernah terdengar sama sekali. Apalagi bahasa yang dipakai agak sulit dimengerti oleh sebagian besar generasi di jaman ini. Memang apa yang penting dari kalimat ini? Apakah ini mantra ? Kutukan atau kah hanya sesuatu yang tidak berarti penting? Atau ini cuma kalimat yang tak bisa diterjemahkan dan tak berguna?. Bagi saya dan beberapa orang  muda yang sadar bahwa Tou Wuwuk hebat dimasa lalu- kini dan nanti, dalam sebuah diskusi menganggap syair ini sebagai sebuah filsosofi semangat Wuwuk yang menjadikan Wuwuk seperti sekarang ini. Hal ini juga terkait dengan nama Wuwuk  yang menjulang sebagai sebuah romatisme bahwa di sebuah zaman Wuwuk disebut sebagai gudang sarjana. Gudang? Sarjana? Gudang Sarjana?. Ini juga menyangkut mengapa beberapa Tou Wuwuk bisa menjadi orang besar dalam eksistensinya sebagai manusia dimanapun dia pergi dan berada.

Begini terjemahan syair tersebut : “Tuhan Allah yang maha besar yang menciptakan langit dan bumi, berikan berkat bagi kami sampai anak-anak dan cucu-cucu yang ada dinegeri ini, berikanlah pengetahuan dan hati yang jujur dan lemah lembut pada masa kini dan yang akan datang”. Berikut sepenggal kisah dibalik syair tersebut. Suatu masa pada sebuah hari penting di Wuwuk seorang Tonaas selesai Tumani in doong berlari ke sungai Rurumen lantas  mengambil pasir dan menengadah kelangit serta berdoa sambil mengucapkan syair  tersebut. Entah apa, sehingga Tonaas Sion Korotei Rompas mengucapkan syair itu.

Semenjak  pertama kali membaca syair tersebut terbesit berbagai macam pertanyaan tentang latar belakang dan subtansi dari syair itu. Kenapa harus di sungai dan tidak di tempat tumani saja? Kenapa harus segenggam pasir? Kenapa syair itu?. Jawaban pertama yang tersingkap dalam dunia tafsiran sadar saya yaitu syair tersebut sebagai doa yang visioner, sebagai bentuk rasa cinta terhadap Wuwuk dan keturunannya di masa depan. Namun sekarang ini saya menggapnya sebagai sebuah Tumotowa Filsosofis yang di dididirikan di tiap jiwa dan semangat orang Wuwuk, tumotowa yang tak kelihatan tapi terus bereksistensi sampai Wuwuk  lenyap dalam kiamat dunia.

Makna syair tersebut secara sempit disaat itu dalam benak Tonaas Rompas, dia tidak ingin kampung yang di tumani-nya bersama tonaas lain hanya akan memiliki sedikit penduduk ataupun akan ditinggali oleh orang-orang yang bodoh, kasar dan tidak memiliki ‘nate rondor’. Syair ini tentu saja tidak hanya memberi arti seperti itu tetapi memberi makna sangat mendalam bahwa dimasa lampau pun founding father Wuwuk peduli akan nasib Wuwuk dimasa ini dan akan datang.  Bagi saya kemudian syair ini adalah alasan kenapa di sebuah masa Wuwuk  disebut sebagai ‘ desa gudang sarjana’ bahkan menjadi alasan eksistensi hidup tou Wuwuk itu sendiri di zaman sekarang ini. Sedangkan makna ‘doa di sungai’ dan ‘ segenggam pasir” tentu juga memiliki makna lain yang dalam. Sungai terkait dengan aliran air dan air. Air secara sempit bermakna sebagai pembersih. Dalam kisah itu dapat dilihat bahwa selesai bekerja (tumani doong Wuwuk) Tonaas Rompas berlari kesungai dan mengucapkna syair itu. ‘Berlari’ disini dapat bermakna secara cepat untuk sebuah kerinduan. Sedang sungai yang terkait dengan air sebagai pembersih, bermakna untuk menghanyutkan  serta membersihkan diri dari kotoraan yang melekat dibadan karena akan melakukan sebuah ritual suci yaitu berbicara dengan Amang Kasuruan Wangko lewat doa. Karena itu berlari kesungai lebih bermakna sebagai sebuah kerinduan untuk berbicara dengan Apo Ang Dangka dengan terlebih dahulu membersihkan diri serta seperti layaknya sebuah aliran sungai doa yang diucapkan tak akan pernah putus-putusnya. Sedangkan untuk ‘segenggam pasir’ bisa memaknakan ‘jumlah’ sehingga bisa diartikan dengan sejumlah besar angka menyangkut keturunan Wuwuk . Bisa juga bermakna kuantitas dan kualitas pengetahuan yang banyak di kepala setiap tou Wuwuk. Makna “segenggam pasir’ ini telah terwujud lewat jumlah Tou Wuwuk yang begitu banyak. Buktinya kini Wuwuk telah dimekarkan menjadi dua desa yaitu Wuwuk dan Wuwuk Barat. Disisi lain bisa bermakna ‘berpengetahuan banyak’, dibuktikan dengan hampir semua orang Wuwuk bersekolah hingga sarjana serta menjadi orang-orang penting dalam pekerjaaanya baik dalam bidang Pendidikan, Pemerintahan dll. Pengetahuan yang banyak ini pula yang menjadikan tou Wuwuk terpandang karena ditinjau darisegi pengetahuannya.

Wuwuk memang sangat terkait sebagai nama sebuah desa namun juga lewat ini bisa ditarik makna filosofis tetang Wuwuk itu sendiri, tentang manusianya dan tentang eksistensinya. Memang segala sesuatu tentang sesuatu pada dasarnya harus diharapkan, secara sederhana bisa berarti dimintakan. Tonaas Rompas telah berharap dan meminta sampai doanya terkabul sehingga ini alasan yang tepat bagi keberadaan Wuwuk sekarang ini. Ini alasan mengapa saya menyebut ‘Wuwuk telah di-IYA-kan oleh Amang Kasuruan”. Doa ini sudah dan akan terus terkabul bagi Wuwuk pun semua keturununannya. Kini tinggal kita generasi yang hidup dan mau terus hidup di tanah ini untuk memaknai sesuatu sebagai sebuah pemberian yang telah dimintakan sebelumnya dan di restui Amang Kasuruan pencipta semesta.

Sebuah pesan di akhir tulisan yang kerap saya dengar dari tua-tua Wuwuk untuk diketahui semua orang : “Eh…Poow-poowku wukaan emberen wo natemu, Wo camu mekampet-kampetan si esa wo se walina, eh weta cita imbaya mepoow”.

MEMBONGKAR TERMINOLOGI & FILOSOFIS WUWUK

MEMBONGKAR TERMINOLOGI & FILOSOFIS WUWUK
Oleh : Kalfein Wuisan
Wuwuk berasal dari nama pohon yaitu pohon Wuwuk yang dalam bahasa tua disebut ‘Wuk-wuk’. Istilah Wuwuk yang lebih dikenal kemudian dan ditulis dalam catatan-catatan orang luar seperti J. Zwars dan Grafland. Pohon Wuwuk merupakan sebuah pohon yang batangnya mengeluarkan getah sejenis damar dan mengeluarkan bau seperti kemenyan. Dalam bahasa setempat disebut seringa atau dalam bahasa tontemboan disebut reri’. Selain itu ada juga yang menyebut bahwa pohon Wuwuk ini memiliki nama lain yaitu kayu ‘solo hutan’. (Tampi, dkk. Sejarah Gmim Wuwuk, 1984:1). Pohon Wuwuk ini dikenal terkait asal-usul berdirinya Wuwuk sebagai sebuah Wanua atau kampung. Wuwuk yang dimaksudkan bukan desa Wuwuk dalam artian buah karya politik seperti saat ini. Sebab desa Wuwuk saat ini secara administratif telah terbagi dua yaitu desa Wuwuk dan desa Wuwuk Barat. ‘Wuwuk’ yang dimaksud disini ialah Wuwuk dalam artian keseluruhan. Tidak membaginya dalam perspektif administratif pemerintahan seperti realitas sekarang. Wuwuk adalah desa Wuwuk barat dan desa Wuwuk. Maka (saya) lebih akrab menyebutnya desa Wuwuk, bukan Wuwuk Raya. Sebab kata ‘raya’ apabila dilekatkan dengan kata ‘Wuwuk’ secara perlahan akan menghilangkan arti dan makna dari ‘Wuwuk’ itu sendiri. Walaupun telah terpisah secara administratif dan telah memiliki nama sendiri-sendiri, (bagi saya) desa Wuwuk Barat tetaplah disebut ‘Wuwuk’ dan desa Wuwuk tetap juga disebut ‘Wuwuk’. Bukan Wuwuk Raya. Kalaupun menyebut kata Wuwuk, tidak berarti hanya merujuk pada desa Wuwuk sebagai hasil pemekaran seperti yang ada sekarang, tapi juga merujuk pada Wuwuk Barat. Sehingga dapat dimengerti bahwa penggunaan kata ‘Wuwuk’ mengacu pada Wuwuk secara keseluruhan (Wuwuk & Wuwuk Barat). Persoalan ini sama dengan penyebutan istilah Minahasa. Walaupun secara administratif pemerintahan telah terpisah menjadi beberapa bagian, namun sebagian besar orang yang tinggal ditanah ini tetap mengaku dan menyebut dirinya ‘orang Minahasa’. Dalam praktek bermasyarakat mereka kadang menyebut dirinya sebagai orang Minahasa secara administratif misalnya orang Minahasa Selatan, orang Minahasa Tenggara,dsb. Sebab, Minahasa adalah satu. Minahasa adalah semangat. Minahasa adalah identitas. Sama halnya dengan persoalan istilah Wuwuk. Walaupun letak tempat tinggalnya di Wuwuk Barat, ketika ditanya ‘anda orang apa?’, mereka tetap menjawab ‘orang Wuwuk’. Jawaban ini bukan persoalan tidak menghiraukan nama identitas administratif namun istilah ‘Wuwuk’ lebih menunjukan identitas. Secara filosofis menunjukan semangat Wuwuk itu sendiri. Sebab istilah ‘Wuwuk’ menyimpan sebuah cerita penting di masa lampau yang merupakan pangkal dari kondisi Wuwuk sekarang ini.
Wuwuk dari sejarahnya, merupakan sebuah nama Pohon yang kemudian menjadi nama kampung. Sama seperti beberapa kampung di tanah Minahasa yang namanya diambil dari nama pohon. Latar belakangnnya karena Amang Kasuruan Wangko memberi tanda lewat burung manguni di Pohon Wuwuk sebagai restu untuk mendirikan kampung. Terkait juga dengan itu karena pohon tersebut menghasilkan getah sejenis damar yang biasa digunakan oleh para tonaas untuk ‘bafufu’ (memanaskan/mengasapi) pengetahuan mereka dan sebagai kemenyan yang digunakan dalam praktek agama tua. Juga digunakan sebagai pewangi pakaian dan badan oleh kaum perempuan pada masa itu. Pohon Wuwuk pada waktu itu, tumbuh di daerah Sendangan yang kemudian dilokasi tersebut menjadi tempat tumani kampung. Maka di kompleks Sendangan itu sekarang dapat ditemukan Watu Tumotowa (dari kata ‘Tumou’ berarti ‘hidup’ dan ‘Towa’ berarti ‘panggil’, secara harafiah ‘Tomotowa’ berarti ‘ba pangge hidup’) dan beberapa Tawaang yang tumbuh disana sebagai penanda ingatan bahwa ‘berkat dan hidup’ pernah dimintakan ditempat itu oleh dotu orang Wuwuk.
Wuwuk, dalam bahasa tua, secara etimologis terdapat kata “Wu’ yang berarti ‘ke atas’. Makna kata “Wu’ juga bisa bermakna seperti terkandung dalam kata “Wuuk, yang berarti “Rambut’. Namun pengertian ‘wuuk’ disini bukan secara denotasi berarti rambut namun lebih ke pengertian filosofisnya. ‘Wuuk’ bisa diartikan sebagai ‘sesuatu yang terletak diatas dan diatasnya lagi’ atau dalam bahasa manado ‘ diatas pe diatas’.
Dari kajian dua kata tersebut dapat ditarik sebuah arti lain mendalam tentang Wuwuk yaitu ‘yang dari bawah ke atas’. Bila arti Wuwuk dikaji dari akar ceritanya yaitu mengenai “Wuwuk sebagai dammar yang digunakan dalam ritual adat dan berbau harum”, kemudian dihubungkan dengan kajian sebelumnya Wuwuk bisa berarti ‘tu ada fufu, tu harum pe harum, yang dari bawah ke atas’.
Penggunaan kata ‘Wuwuk’ di waktu yang lampau juga ditemukan dalam berapa literatur seperti tulisan Zwars namun kerap disebut Buwuk. (Zwars J.,Tontemboancshetexten,1907:155-156). Istilah ini muncul karena mengacu ke dialeg tontemboan yang kadang menyebut huruf W pada awalan kata diganti dengan huruf B, sehingga Wuwuk disebut Buwuk. Hal serupa juga terjadi pada penyebutan Wuuk yang kerap disebut Buuk. Ini hanya persolan dialeg saja namun artinya tetap sama.
Dalam beberapa referensi Wuwuk tetap memiliki arti yang sama. Wuwuk berarti ‘kemenyan yang semerbak harumnya’ (Grafland N. Minahasa, Negeri, Rakyat dan Budayanya, 1991:243). Dalam Tonteboantesten, Zwars menulis Wuwuk sebagai ‘getah dari kayu yang berbau harum’ (Zwars J.,Tontemboancshetexten,1907:155-156). Wuwuk juga diartikan oleh para tonaas pendiri kampung sebagai yang ‘berbau harum dan memberi kekuatan’.(MMABES. Roong Wuwuk,Sejarah & Kumpulan Lagu Tumeir, 2011: 10).
Terkait arti Wuwuk dalam kajian istilah, Wuwuk secara kontekstual telah berkembang dan terwujud seperti makna dasarnya. Perwujudan itu bisa dilihat dari perkembangan Wuwuk itu sendiri. Wuwuk disuatu masa disebut sebagai gudang sarjana, desa yang memiliki banyak sarjana dibandingkan desa lain. Secara tak langsung telah mengambarkan arti ‘Wuwuk yang harum ’. Tak hanya itu dari Wuwuk lahir para guru, akademisi, sampai birokrat. Karena itu pula tidak mengherankan apabila ada orang Wuwuk yang memiliki posisi strategis dan berpengaruh di bidang pendidikan bahkan sampai pemerintahan. Secara langsung telah terdefinisikan “Wuwuk sebagai yang berbau harum dan memberi kekuatan’. Wuwuk yang kebanyakan masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani cap tikus mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Ini membuktikan makna Wuwuk yang dari artinya ‘tu harum pe harum yang dari bawah ka atas’. Maknanya yang lain yaitu walaupun pekerjaan sebagai petani dianggap pekerjaan rendahan/pekerjaan kelas bawah bagi sebagian orang namun pekerjaan itu halal. Dari pendapatan bertani bisa menyekolahkan anak ke perguruan tinggi sampai menjadi orang sukses yang pada akhirnya ‘mengharumkan’ nama keluarga terlebih kampung Wuwuk tercinta.
Jadi keberhasilan Wuwuk dan orang-orang Wuwuk saat ini, bukan hanya kebetulan saja namun telah melekat di jiwa dan mengalir dalam darah orang Wuwuk itu sendiri. Ini terkait persoalan mengartikan Wuwuk secara filosofis. Maka akan ditemukan benang merah antara kondisi Wuwuk masa lalu,kini dan nanti. Persoalan ‘nama Wuwuk yang harum’ saat ini juga tidak lepas dari doa tonaas pendiri kampung saat ‘Tumani In Doong’. Begini Syair Doanya : “Apo Amang Kasuruan Wangko ni memak tana wo langit, paka kamang kamangen nai kami wo setoyaang wo sepoyo-poyo ami andoong anio, wo we an nai o wak sama wo pengeta’uan wo ate rondor wo lenas asi endo anio wo endo maai” (Artinya: Tuhan Allah Yang Maha Besar yang menciptakan langit dan bumi, berikan berkat bagi kami sampai pada anak-anak dan cucu-cucu yang ada di negeri ini serta berikanlah tubuh yang sehat dan pengetahuan dan hati yang jujur dan lemah lembut pada masa kini dan masa yang akan datang”.
Dari makna ’Wuwuk’ dan doa pendirinya telah jelas bahwa segala sesuatu yang terkait dengan ‘Wuwuk’ memiliki arti dan telah mengalir dalam darah orang yang menyandang nama tersebut apalagi lebih lengkap ketika dimintakan kepada Amang Kasuruan Wangko lewat doa. Wuwuk harum karena sesuai namanya. Wuwuk terangkat ke atas seperti sekarang karena sesuai dengan namanya. Wuwuk melahirkan orang-orang yang ‘kuat’ dibidangnya karena sesuai namanya. Namun Wuwuk akan tetap harum dan abadi karena telah dimintakan oleh para pendahulunya lewat doa kepada Amang Kasuruan Wangko. Setiap tindakan untuk memaknai arti nama dan memaknai doa merupakan sebuah jalan menuju pencerahan, menuju keabadian serta mencapai kinaeneyan.

TECHNIQUE ART COMPETITION 2010

TECHNIQUE ART COMPETITION 2010

(Sebuah Laporan Hasil Kegiatan)

Proses kreatif adalah bukan semata-mata wacana untuk mentenarkan diri, mencari muka, apalagi menunjukan kehebatan kita, melainkan sesungguhnya adalah bagaimana kita memulai dan dinilai oleh orang lain, entah hasilnya baik atau buruk itu bukanlah masalah. hal ini dibuktikan oleh sejumlah mahasiswa fakultas teknik dengan diwujudkanya sebuah kegiatan berkesenian bertajuk TECHNIQUE ART COMPETITION oleh Technique Theatre UNIMA.Akhirnya, Technique Art Competition 2010 telah sukses dilaksanakan dengan hasil lomba sebagai berikut :
*Lomba Monolog :Juara 1 : Lois MakansingJuara 2 : Jendry Weken…Juara 3 : Jean Kalengkongan
*Lomba Idol :Juara 1 : Angelina TurangJuara 2 : Marlon Rumende
*Lomba Cipta/Baca Puisi :Juara 1 : Shintia MambuJuara 2 : Gabriela RantungJuara 3 : Reza Kilala
Dengan demikian, sebuah tonggak sejarah kembali ditorehkan di lingkungan berkesenian fatek bahwa seni tidak mati di dalam diri mahasiswa namun bersama darah muda menggebu-gebu, meletup bersama bakat-bakat terpendam yang mulai memecah ke permukaan..Ini juga sebuah bukti bahwa kami punya karya..!Selamat buat para pemenang !Terus berkarya !Selamat Datang di dunia berkesenian Fatek !Selamat datang di Technique Theater !

TECHNIQUE ART COMPETITION 2010

(Sebuah Laporan Hasil Kegiatan)

Proses kreatif adalah bukan semata-mata wacana untuk mentenarkan diri, mencari muka, apalagi menunjukan kehebatan kita, melainkan sesungguhnya adalah bagaimana kita memulai dan dinilai oleh orang lain, entah hasilnya baik atau buruk itu bukanlah masalah. hal ini dibuktikan oleh sejumlah mahasiswa fakultas teknik dengan diwujudkanya sebuah kegiatan berkesenian bertajuk TECHNIQUE ART COMPETITION oleh Technique Theatre UNIMA.Akhirnya, Technique Art Competition 2010 telah sukses dilaksanakan dengan hasil lomba sebagai berikut :
*Lomba Monolog :Juara 1 : Lois MakansingJuara 2 : Jendry Weken…Juara 3 : Jean Kalengkongan
*Lomba Idol :Juara 1 : Angelina TurangJuara 2 : Marlon Rumende
*Lomba Cipta/Baca Puisi :Juara 1 : Shintia MambuJuara 2 : Gabriela RantungJuara 3 : Reza Kilala
Dengan demikian, sebuah tonggak sejarah kembali ditorehkan di lingkungan berkesenian fatek bahwa seni tidak mati di dalam diri mahasiswa namun bersama darah muda menggebu-gebu, meletup bersama bakat-bakat terpendam yang mulai memecah ke permukaan..Ini juga sebuah bukti bahwa kami punya karya..!Selamat buat para pemenang !Terus berkarya !Selamat Datang di dunia berkesenian Fatek !Selamat datang di Technique Theater !

Sejarah Pembentukan Technique Theatre

Sebuah Catatan :
Sejarah Pembentukan Technique Theatre
Oleh : Kalfein Wuisan
“Hari ini kita bersama telah memilih untuk memulai dan meletakkan sebuah sejarah baru tonggak berkesenian di Fatek Unima”, begitulah ikrar yang diucapkan oleh beberapa orang mahasiswa fatek dalam rangkaian menutup rangakain pertemuan pembentukan sebuah wadah berkesenian bernama Technique Theatre. Technique Theatre sendiri adalah sebuah wadah sadar berkesenian yang merupakan tempat naungan para mahasiswa Fatek Unima yang sadar memiliki minat dan bakat di bidang seni, lebih khusus Teater, Sastra dan Musik.
Hari itu tanggal 6 November 2007, waktu menunjukan pukul 12.30 siang, sementara gerimis air hujan masih terus membentengi pintu keluar kampus. Bagi sebagian orang keadaan tersebut merupakan sebuah penghalang untuk beraktivitas, tapi tidak bagi beberapa orang mahasiswa yang sudah sedari pukul 12.00 berkumpul di aula Fatek Unima, berdikusi menyatukan persepsi guna menorehkan sebuah sejarah yang akan dikenang selama seribu tahun kedepan. Berawal dari gagasan ide Kalfein Wuisan bersama Rendy Iroth, untuk memulai sebuah langkah revolusioner demi perkembangan proses kreatif berkesenian di Fatek Unima dengan membentuk sebuah wadah kesenian kreatif guna menampung para mahasiswa Fatek yang memiliki minat dan bakat yang sama di bidang seni, lebih khusus teater, sastra dan musik. Maka dikumpulkanlah rekan mahasiswa lain yang memiliki kesadaran dan persepsi yang sama guna memajukan kesenian di Fatek Unima dengan kemudian bersama bermusyawarah dalam sebuah pertemuan untuk merealisasikan ide pemikiran kreatif tersebut. Adapun mereka yang hadir dalam pertemuan itu antara lain, Indra Lumantow, Steve Sehang, James Giroth, Febri Rumintjap, Kristian Rantung.
Pertemuan tersebut di mulai tepat pukul 12.30, dibuka dengan doa kemudian dilanjutkan dengan agenda pembentukan organisasi, setelah sebelumnya sepakat dengan visi misi bersama demi kemajuan berkesenian di Fatek. Setelah bersama berpikir dengan berbagai pertimbangan akhirnya memutuskan sebuah nama yang cocok dan tepat sebagai label dari wadah kesenian di Fatek, maka nama ‘TECHNIQUE THEATRE’ dipilih, setelah menyingkirkan usulan nama lain. Selanjutnya, giliran menentukan siapa yang akan masuk dalam susunan pengurus inti, Kalfein Wuisan kemudian di pilih dan dipercayakan mengemban tangungjawab besar sebagai Ketua, sementara Rendy Iroth dipercayakan sebagai Sekretaris dan untuk jabatan Bendahara dipegang oleh James Giroth. Kemudian dibentuk pula bidang-bidang berserta koordinatornya, yaitu Bidang Teater (Steve Sehang), Bidang Musik (Kristian Rantung), Bidang Sastra (Febri Rumintjap), Bidang Humas (Indra Lumantow). Agenda di lanjutkan dengan membicarakan kegiatan deklarasi sebagai follow up dari pembentukan Technique Theatre dan sebagai sebuah corong resmi yang menyatakan kehadiran Technique Theatre untuk kemudian di saksikan serta mendapatkan pengakuan dari dunia luar. Setelah melewati proses perundingan yang alot maka tanggal 8 November dipilih sebagai tanggal untuk acara deklarasi dan di sepakati sebagai hari ulang tahun Technique Theatre. Acara pertemuan kemudian di tutup dengan doa dan alhasil terbentuklah Technique Theatre lengkap bersama struktur kepengurusan.
Namun perjuangan belum selesai tapi baru saja dimulai, sebab masih ada tugas lain seperti merumuskan AD/ART (prinsip organisasi), program kerja kedepan serta tugas yang paling berat yaitu mempertahankan eksistensi Technique Theatre Di Fatek Unima. Sementara itu, di luar gerimis sudah tak lagi keluh terhadap langit, dan tanah mulai kering oleh sinar sang siang yang mulai turun keperaduan membusur empat puluh lima derajat ke arah barat. Setelah lelah dengan perjuangan akan hari dimana konsep pembentukan Technique Theatre dikandung, akhirnya sebuah kesadaran tentang arti memulai sebuah sejarah terasakan dan membumi bersama waktu beserta keringat yang meresap ke pori-pori bumi, sementara hari itu pun berlalu sudah. (K.W)

Perjuangan sudah di mulai dan tak akan ada akhirnya !

Cat.:
TECHNIQUE THEATRE = Technique Theatre (di baca : teknik’ teater) Atau Teater Teknik.

Kita Waya Katuun, Ya Reregesan Ke' Karu